Klasifikasi
Cedera Kepala
Berat
ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang muncul
setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi yang
dipakai dalam penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data Bank mendifinisikan
berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (Glasgow coma scale)
Tabel
1. Kategori Penentuan Keparahan cedera
Kepala berdasarkan Nilai Skala Koma Glasgow (SKG)
Penentuan
keparahan
|
Deskripsi
|
Minor/
Ringan
|
SKG 13 –
15
Dapat
terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak
ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral, hematoma
|
Sedang
|
SKG 9 –
12
Kehilangan
kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
|
Berat
|
SKG 3 –
8
Kehilangan
kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusia
serebral, laserasi atau hematoma intracranial
|
sumber
:keperawatan kritis, pendekatan holostik vol, II tahun 1995, hal:226
Tabel
2. Skala Koma Glasgow (Blak, 1997)
1.
Membuka Mata
Spontan
Terhadap
rangsang suara
Terhadap
nyeri
Tidak
ada
|
4
3
2
1
|
2.
Respon Verbal
Orientasi
baik
orientasi
terganggu
Kata-kata
tidak jelas
Suara
Tidak jelas
Tidak
ada respon
|
5
4
3
2
1
|
3.
Respon Motorik
Mampu
bergerak
Melokalisasi
nyeri
Fleksi
menarik
Fleksi
abnormal
Ekstensi
Tidak
ada respon
|
6
5
4
3
2
1
|
Total
|
3 – 15
|
Annegers
et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesis
pasca trauma yang dibagi menjadi:
1.
Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia berlangsung
kurang dari 30 menit.
2.
Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30
menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.
3.
Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24
jam, perdarahan subdural dan kontusio serebri.
Penggolongan
cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran ataupun amnesia saat ini
masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas. Klasifikasi cedera kepala
berdasarkan jumlah Skala Koma Glasgow (SKG) saat masuk rumah sakit merupakan
definisi yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).
Patofisiologi
Patofisiologis
dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder.
Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu
trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian
besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak,
terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis,
memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap
jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan
kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak
komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik
berat.
Proses
Primer
Proses
primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal
(perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan
otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat
kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak
diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan
fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu
saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
Proses
Sekunder
Kerusakan
sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat
dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan
sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti.
Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya
iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan
berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan
radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan
gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan
sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan
mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus
lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus
oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan.
Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi
lobus temporalis.
Kelainan
metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya
kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan
terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena
kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari
pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari
daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.
Setelah
kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam
jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan
glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang
mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang
otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat
fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan
pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala
yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal
dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi
tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap
ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila
hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala
Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf
kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas
dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan
menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada
gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
Cedera
otak sekunder tejadi setiap saat setelah terjadi benturan. Factor-faktor yang
menyebabkan cedera otak sekunder adalah:
1.
Hematoma intrakranial
a.
Epidural
b.
Subdural
c.
Intraserebral
d.
Subarahnoid
2.
Pembengkakan otak
Mungkin
terjadi dengan atau tanpa hematoma intrakranial. Hal ini diakibatkan timbunan
cairan intra atau ekstrasekuler atau bendung vaskuler.
3.
Herniasi : tentorial dan tonsiler
4.
Iskhemi serebral, akibat dari:
- Hipoksia / hiperkarbi
- Hipotensi
- Peninggian tekanan intrakranial
5.
Infeksi : Meningitis, abses serebri
Tipe
trauma kepala
a.
Trauma kepala terbuka
1)
Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter.
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak, misalnya
akibat benda tajam atau tembakan.
2)
Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media berada dalam
jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural. Fraktur linier
yang melintang garis tengah, sering menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya
sinus sagitalis superior.
3)
Fraktur
di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian atas
yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur di fosa anterior, sering terjadi
keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe) dan adanya brill hematom (raccon
eye).
4)
Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal (lebih
jarang). Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior. Fraktur
anterior biasanya karena trauma di daerah temporal, sedang yang posterior
disebabkan trauma di daerah oksipital.
5)
Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus
interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2 – 3 hari akan nampak battle
sign (warna biru di belakang telinga di atas os mastoid) dan otorrhoe
(liquor keluar dari telinga). perdarahan dari telinga dengan trauma kepala
hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya
fraktur tulang tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang emergensi,
namun yang sering menimbulkan masalah adalah fragmen tulang itu menyebabkan
robekan pada durameter, pembuluh darah atau jaringan otak. Hal ini dapat
menyebabkan kerusakan pusat vital, saraf kranial dan saluran saraf (nerve
pathway).
b.
Trauma kepala tertutup
1)
Komotio serebri (gegar otak)
Penyebab
gejala komotio serebri belum jelas. Akselerasi-akselerasi yang meregangkan otak
dan menekan formotio retikularis merupakan hipotesis yang banyak dianut.
Setelah penurunan kesadaran beberapa saat pasien mulai bergerak, membuka
matanya tetapi tidak terarah, reflek kornea, reflek menelan dan respon terhadap
rasa sakit yang semula hilang mulai timbul kembali. Kehilangan memori yang
berhubungan dengan waktu sebelum trauma disebut amnesia retrograde. Amnesia
post traumatic ialah kehilangan ingatan setelah trauma, sedangkan amnesia
traumatic terdiri dari amnesia retrograde dan post traumatic.
2)
Edema serebri traumatic
Otak
dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama
pada anak-anak. Pingsan dapat berlangsung lebih dari 10 menit, tidak dijumpai
tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo,
mungkin muntah. Pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang
agak meningkat.
3)
Kontusio serebri
Kerusakan
jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak mengganggu
jaringan. Kontosio sendiri biasanya menimbulkan defisit neurologis jika
mengenai daerah motorik atau sensorik otak.
Kontusio
serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri meningkat
sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala.
Kontusio serebri sangat sering terjadi difrontal dan labus temporal, walaupun
dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum.
Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral traumatika memang
tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari
mengalami evolusi membentuk pedarahan intra serebral (ATLS 1997).
4)
Perdarahan Intrakranial
a)
Perdarahan Epidural
Perdarahan
epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon
temporal atau temporopariental akibat pecahnya anteri meningea media (Sudiharto
1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas
gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan
kesadaran progesif disertai kelainan neurologis unilateral. Kemudian gejala
neurologis timbul secara progesif berupa pupil anisokor, hemiparese, papiledema
dan gajala herniasi transcentorial.
Perdarahan
epidural di fossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika
terjadi di oksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah
ataksia serebelar dan paresis nervi kranialis. Ciri perdarahan epidural
berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
b)
Perdarahan Subdural
Terjadi
antara duramater dan arachnoid. Perdarahan subdural lebih biasa terjasi
perdarahan epidural (30 % dari cedera kepala berat). Umumnya perdarahan akibat
pecahnya/robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek serebri dan
sinus venosa tempat vena tadi bermuara, namun dapat pula terjadi akibat
laserasi pembuluh arteri pada permukaaan otak.
Gejala
yang sub akut tidak sejelas yang gejala akut. Perdarahan subdural menjadi
simptomatik dalam 3 hari disebut akut, jika gejala timbul antarqa 3 sampai 21
hari disebut subakut, sedangkan lebih dari 21 hari disebut kronik.
Gejala
yang paling sering pada akut adalah nyeri kepala, mengantuk, agitasi cara
berpikir yang lambat dan bingung. Gejala yang paling sering pada kronik adalah
nyeri kepala yang semakin berat, cara berpikir yang lambat, bingung, mngantuk.
Pupil edema dapat terjadi dan pupilipsilateral dilatasi dan refleka cahaya
menurun, Hemiparese sebagai tanda akhir biasa ipsilateral atau kontralateral
tergantung pada a[akah lobus temporal mengalami herniasi melalui celah tentorum
dan menekan pendukulus serebri kontralateral.
Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak
dibawahnya lebih berat dan prognosinyapun jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.
c)
Perdarahan subarahnoid
Perdarahan
subaranoid sering terjadi pada trauma kapitis. Secara klinis mudah dikenali
yaitu ditemukannya kaku kuduk, nyeri kepala, gelisah, suhu badan subfebril.
Gejalanya
menyerupai meningitis. Perdarahan yang besar dapat disertai koma. Pedarahan
terjadi didalam ruang subarahnoid karena robeknya pembuluh darah yang berjalan
didalamnya. darah tercampur dengan cairan otak. Adanya darah didalam liquor
serebri spinal akan merangsang meningia sehingga terjadi kaku kuduk.
Manifestasi Klinis
1.
Gangguan kesadaran
2.
Konfusi
3.
Abnormalitas pupil
4.
Awitan tiba-tiba defisit neurologik
5.
Perubahan tanda vital
6.
Gangguan penglihatan dan pendengaran
7.
Disfungsi sensory
8.
Kejang otot
9.
Sakit kepala
10.
Vertigo
11.
Gangguan pergerakan
12.
Kejang
Evaluasi Diagnostik
1.
CT scan
2.
MRI
3.
Angiografi cerebral
Penatalaksanaan
1.
Tindakan terhadap peningkatan TIK
a.
pemantauan TIK dengan ketat
b.
oksigenasi adekuat
c.
pemberian mannitol
d.
penggunaan steroid
e.
peningkatan kepala tempat tidur
f.
bedah neuro
2.
Tindakan pendukung lain
a.
dukungan ventilasi
b.
pencegahan kejang
c.
pemeliharan cairan, elektrolit, dan keseimbangan nutrisi
d.
terapi antikonvulsan
e.
klorpromazin untuk menenangkan pasien
f.
selang nasogastrik
Proses
Penatalaksanaan pada Trauma Kepala yang Memerlukan Tindakan Bedah Saraf :
Penatalaksanaan
trauma kepala yang memerlukan tindakan bedah saraf, merupakan proses yang
terdiri dari serangkaian tahapan yang saling berkaitan satu sama lain, sehingga
sampai pada pengambilan putusan untuk melakukan tindakan pembedahan. Dalam hal
ini meliputi 4 tahapan, tahapan-tahapan tersebut meliputi:
1.
Tahap I
a.
Penilaian awal dan Pertolongan pertama
Penilaian
awal, prioritas penilaian :
- Airway
- Breathing
- Circulation
- Periksa adanya kemungkinan
kelainan atau perdarahan
- Tentukan hal-hal sebagai
berikut:
- Lamanya tak sadar
- Lamanya amnesia post-trauma
- Sebab-sebab cedera
- Adanya nyeri kepala, muntah
- Pemeriksaan fisik umum dan
neurologik
Pertolongan
pertama yang segera dilakukan bila terjadi gangguan pernafasan, sirkulasi dan
atau gangguan kesadaran:
- Membebaskan jalan nafas agar
tetap terbuka dan bebas
- Mengontrol atau mengendalikan
perdarahan
- Menanggulangi renjatan (shock)
- Monitor EKG
b.
Diagnosis
- Pemeriksaan Laboratorium
Hb,
hematokrit, eritrosit, lekosit, trombosit, elektrolit, gula darah, BUN, ureum,
kreatinin, masa perdarahan dan penjendalan, golongan darah dan AGD.
- Pemeriksaan penunjang yang
khusus
- Foto kepala
- Foto servikal
- Pada trauma multiple perlu
dilakukan foto abdomen dan ekstremitas
- Angiografi Serebral
- CT scan
- Burr holes/trepanasi eksplorasi
c.
Indikasi Konsultasi Bedah Saraf (Teddy & Anslew, 1989)
- Coma yang berlangsung lebih
dari 6 jam
- Penurunan kesadaran atau
gangguan neurologik progresif
- Penderita belum sadar kembali
setelah dirawat 24 jam
- Adanya tanda-tanda neurologik
fokal, termasuk yang sudah ada sejak saat terjadinya cedera kepala.
- Adanya kejang fokal atau umum
setelah trauma.
- Fraktur impresi terbuka /
tertutup
- Perdarahan intrakranial
2.
Tahap II: Observasi perjalanan klinis dan Perawatan suportif
3.
Tahap III
a.
Indikasi pembedahan
- Perlukaan pada kulit kepala
- Fraktur tulang kepala
- Hematoma intrakranial
- Kontusio jaringan otak yang
mempunyai diameter > 1 cm dan atau laserasi otak
- Subdural higroma
- Kebocoran cairan serebrospinal
b.
Kontaindikasi
- Adanya tanda-tanda renjatan
(Shock), ini biasanya bukan karena trauma kepalanya tetapi karena
sebab-sebab lain, misalnya ruptur alat viscera (Hepar, lien, ginjal) atau
fraktur berat pada ekstremitas.
- Penderita dengan trauma kepala
yang pada waktu masuk rumah sakit pupil sudah dilatasi maksimal dan reaksi
cahaya negatif, denyut nadi dan respirasi irregular.
c.
Tujuan Pembedahan
- Untuk mengeluarkan bekuan darah
dan atau jaringan otak yang nekrotik
- Untuk mengangkat bagian tulang
yang menekan atau masuk ke jaringan otak
- Untuk mengurangi tekanan
intrakranial
- Untuk mengontrol perdarahan
- Untuk menutup durameter atau
memperbaiki durameter yang rusak
- Menutup defek pada kulit kepala
untuk mencegah infeksi atau untuk kepentingan segi kosmetik.
d.
Persiapan Pembedahan
- Mempertahankan jalan nafas agar
tetap bebas
- Pasang infus
- Observasi tanda-tanda vital
- Pemeriksaan laboratorium
- Pemberian antibiotik profilaksi
- Pasang kateter
- Pasang NGT
- Terapi untuk menurunkan TIK
- Pemberian antikonvulsan
4.
Tahap IV
a.
Pembedahan spesifik
- Perlukaan pada kulit prinsipnya
dilakukan “debridemen”
- Pada lesi desak ruang
intrakranial traumatic pada prinsipnya dilakukan kraniotomi yang cukup
luasnya.
- Pada Hematom Epidural biasanya
dilakukan.
-
Trepanasi
-
Kraniotomi yang diperluas dengan kraniektomi
Bila
diagnosa dengan CT scan yang menunjukkan lesi dengan jelas, cukup dengan
kraniotomi yang terbatas. Pada epidural hematom yang lebih tebal <1,5 – 1
cm, belum perlu tindakan operasi.
- Pada Hematom Subdural
Pada
Hematom Subdural akut senantiasa diperlukan kraniotomi yang luas. Tindakan
kraniektomi atau membuat lubang bur tidak dianggap cukup, ini hanya hematom
subdural yang kronis.
- Pada Hematom intraserebral dan
kontusio serebri dengan efek massa yang jelas
Dilakukan
tindakan kraniotomi yang cukup luas.
-
Bila terdapat kontusio dengan diameter > 1 cm, dipermukaan korteks hendaknya
diisap sampai batas jaringan otak yang sehat.
-
Menimbulkan efek massa yang jelas
-
Menyebabkan penyimpangan garis tengah > 4-5 mm
-
Volume diperkirakan > 30 cc atau diameter > 3 cm
-
Menunjukkan peninggian tekanan intrakarnial > 30 mmHg dan atau berkaitan
dengan gangguan neurologik yang progresif.
Pada
hematoma intraserebral yang kronis dapat dilakukan dengan trepanasi secara
konvensional dan aspirasi.
- Pada intraventrikuler hematoma
-
Kraniotomi – aspirasi hematom
-
Trepanasi – drenase ventrikuler
-
Bila timbul tanda-tanda hidrosefalus, dilakukan ventrikulo-peri-toneal shunt.
Prognosis
buruk bila GCS < 8 pada saat masuk dirawat. Bila GCS > 8 prognosis lebih
baik kira-kira 86 % hidupnya tidak tergantung orang lain.
- Pada subdural higroma
- Pada Rhinorrhea
- Pada Laserasi otak
- Pada fraktur tulang kepala
terbuka
- Pada fraktur yang menekan
tertutup
b.
Evaluasi: komplikasi yang perlu diperhatikan:
- Perdarahan ulang
- Kebocoran cairan otak
- Infeksi pada luka atau sepsis
- Timbulnya edema serebri
- Timbulnya edema pulmonum
neurogenik, akibat peninggian TIK
- Nyeri kepala setelah penderita
sadar
- Konvulsi
c.
Outcome
Outcome
akibat trauma kepala, walaupun sudah dilakukan tindakan operasi tergantung
beberapa factor diantaranya:
- Saat dilakukan operasi
- Tergantung pada penilaian
tingkat kesadaran
- Faktor usia
- Tergantung tanda-tanda vital
waktu masuk
- Tergantung pada peninggian
intrakranial
- Tergantung pada factor hematom:
jenis, sifatnya, volume dan lokalisasinya, misalnya:
- Outcome epidural hematom
dengan kontusio serebri lebih buruk daripada kalau hanya ada epidural
hematomnya (Guillermann, 1996)
- Volume hematom epidural (EDH)
EDH
< 50 cc
dengan mortalitas 12 %
EDH
50 – 100 cc dengan mortalitas 33 %
EDH
> 100 cc dengan
mortalitas 66 %
A.
Asuhan Keperawatan
Diagnosa
keperawatan yang sering muncul pada klien dengan cidera kepala :
- Resiko tidak efektifnya pola
pernafasan berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler
- Resiko peningkatan tekanan
intrakranial berhubungan dengan adanya proses desak ruang akibat
penumpukan cairan /darah di dalam otak
- Defisit volume cairan
berhubungan dengan penurunan produksi antidiuretik hormon akibat
terfiksasinya hipotalamus
- Resiko keseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan melemahnya otot yang
dipergunakan untuk mengunyah dan menelan
- Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan kognitif, penurunan
kekuatan dan ketahanan
- Perubahan persepsi sensori
berhubungan dengan menurunnya tingkat kesadaran
- Nyeri akut (nyeri kepala,
pusing) berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan peningkatan tekanan
intrakranial
- Cemas dari keluarga berhubungan
dengan ketidakpastian terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya
perubahan situasi dan krisis
Askep Cedera Kepala
Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Cedera Kepala
Trauma / cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Etiologi Cedera Kepala
- Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau
sepeda, dan mobil.
- Kecelakaan
pada saat olah raga, anak dengan
ketergantungan.
- Cedera akibat kekerasan.
Klasifikasi Cedera kepala menurut patofisiologinya dibagi menjadi dua :
1. Cedera Kepala Primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi – decelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
a. Gegar kepala ringan
b. Memar otak
c. Laserasi
2. Cedera Kepala Sekunder
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
a. Hipotensi sistemik
b. Hipoksia
c. Hiperkapnea
d. Udema otak
e. Komplikasi pernapasan
f. infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (GCS):
1. Cedera Kepala Ringan
- GCS
13 – 15
- Dapat
terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
- Tidak
ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
- GCS
9 – 12
- Dapat
mengalami fraktur tengkorak.
- GCS
3 – 8
- Kehilangan
kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Proses-proses fisiologi yang abnormal:
- Kejang-kejang
- Gangguan saluran nafas
- Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena:
- edema
fokal atau difusi
- hematoma
epidural
- hematoma
subdural
- hematoma
intraserebral
- over
hidrasi
- Anemia
- Syok
Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cedera otak dan sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Perdarahan yang sering ditemukan:
- Epidural
hematom:
Tanda dan gejala:
penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
- Subdural
hematoma
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
- Perdarahan
intraserebral
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
- Perdarahan
subarachnoid:
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
Penatalaksanaan Cedera Kepala
Konservatif
- Bedrest
total
- Pemberian
obat-obatan
- Observasi
tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.
Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
Blood:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
- Perubahan
status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
- Perubahan
dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, foto fobia.
- Perubahan
pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
- Terjadi
penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
- Sering
timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan
kompresi spasmodik diafragma.
- Gangguan
nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi,
disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
Pemeriksaan Diagnostik:
- CT
Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
- Angiografi
serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
- X-Ray:
mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
- Analisa
Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
- Elektrolit:
untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
- memaksimalkan
perfusi/fungsi otak
- mencegah
komplikasi
- pengaturan
fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.
- mendukung
proses pemulihan koping klien/keluarga
- pemberian
informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan
rehabilitasi.
1) Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2) Resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3) Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
4) Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis.
5) Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
6) Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Askep
Klien Dengan Cedera Kepala Sedang
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Konsep Dasar
Pengertian
Cedera kepala adalah trauma yang
meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak, dan cedera kepala paling
sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan
merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. (Brunner &
Suddarth, 2002 : hal. 2210)
Cedera Kepala merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian
besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. (Arief Mansjoer, 2000 : hal. 3)
Cedera kepala adalah gangguan
traumatik pada daerah kepala yang menggangu fungsi otak dengan atau menyebabkan
terputusnya kontinuitas jaringan kepala yang biasanya disebabkan oleh trauma
keras (Sylvia A. Price, 2006 : hal. 1173).
Dari pengertian-pengertian diatas
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa cedera kepala adalah traumatik pada
daerah kepala yang dapat mengganggu fungsi otak yang biasanya disebabkan oleh
trauma keras sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
Anatomi Fisiologi Otak
Otak dilindungi dari cedera oleh
rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang
lembut akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu,
begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan
akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya terjadi sekunder akibat cedera.
Meninges melindungi otak dan
memberikan perlindungan tambahan. Ketiga lapisan meninges adalah dura meter,
araknoid, dan pia meter. Masing-masing mempunyai fungsi tersendiri dan
strukturnya berbeda dari struktur lain. Dura meter adalah membran luar yang
liat, semitranslusen, dan tidak elastis. Fungsinya untuk (1) melindungi otak,
(2) menutupi sinus-sinus vena (yang terdiri atas dura meter dan lapisan endotelial
saja tanpa jaringan vascular), dan (3) membentuk periosteum tabula interna. Dura
meter erat dengan permukaan bagian dalam tengkorak. Bila dura robek dan tidak
diperbaiki dengan sempurna dan dibuat kedap udara, akan menimbulkan berbagai
masalah, fungsi terpenting dura kemungkinan adalah sebagai pelindung. Di dekat
dura (tetapi tidak melekat pada dura) terdapat membrane fibrosa halus dan
elastis yang dikenal sebagai araknoid. Membran ini tidak melekat pada dura meter.
Perdarahan antara dura dan araknoid (ruang subdural) dapat menyebar dengan
bebas, dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena-vena
otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan penyokong dan
oleh karena itu mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma. Diantara
araknoid dan pia meter terdapat ruang subaraknoid. Ruangan ini melebar dan
mendalam pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal
(CSS). Pada sinus sagitalis superior dan tranversal, araknoid membentuk
tonjolan villus yang bertindak sebagai lintasan untuk mengosongkan cairan
serebrospinal kedalam sistem vena. Sedangkan lapisan terakhir atau pia meter
adalah membrane halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan
merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk kedalam sulkus dan
membungkus semua girus; kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus.
Klasifikasi Cedera Kepala
Adapun pembagian /
pengklasifikasian cedera kepala (Arief Mansjoer, 2000 : hal 3) adalah :
Berdasarkan mekanisme cedera
Berdasarkan adanya penetrasi
durameter, cedera kepala dibagi menjadi :
Trauma tumpul : kecepatan tinggi
(tabrakan otomobil), dan kecepaan rendah (terjatuh, dipukul).
Trauma tembus : luka tembus peluru
dan cedera tembus lainnya)
Berdasarkan Keparahan cedera
Cedera Kepala Ringan (CKR) : GCS
13-15
Cedera Kepala Sedang (CKS) : GCS
9-12
Cedera Kepala Berat (CKB) : GCS 3-8
Berdasarkan Morfologi
Fraktur tengkorak :
Kranium : linear/stelatum:
depresi/non depresi; terbuka/tertutup
Basis : dengan/tanpa kebocoran
cairan serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII (Nervus Facialis)
Lesi Intrakranial :
Fokal : epidural, subdural,
intraserebral
Difus : konkusi ringan, konkusi
klasik, cedera aksonall difus
Sedangkan menurut Brunner &
Suddarth (2002), pengklasifikasian cedera kepala berdasarkan cedera spesifik
pada otak kepala dibagi :
Komosio
Komosio
serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik sementara
tanpa kerusakan struktur. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak
sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama beberapa menit. Getaran otak
sedikit saja hanya akan menimbulkan pusing atau berkunang-kunang, atau dapat
juga kehilangan kesadaran komplet sewaktu.
Kontusio
Kontusio serebral
merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan
adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala
akan muncul dan lebih khas. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi
lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi dan
berkemih tanpa disadari. Pasien dapat diusahakan bangun tetapi segera masuk
dalam keadaan tidak sadar.
Hematome intracranial
Hematom Epidural
Setelah cedera kepala, darah berkumpul didalam ruang epidural
(ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari
fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau
rusak, dimana arteri ini berada di antara dura dan tengkorak daerah inferior
menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan
penekanan pada otak. Tanda dan gejala klasik terdiri dari penurunan kesadaran
ringan pada waktu terjadi benturan diikuti oleh periode lucid (pikiran jernih)
dari beberapa menit sampai beberapa jam. Pasien dengan hematoma epidural
membentuk suatu kelompok yang dapat dikategorikan sebagai “talk” and “die”.
Hematom Subdural
Hematom subdural adalah pengumpulan
darah di antara dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi
oleh cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi juga terjadi
kecenderungan perdarahan yang serius dan aneurisma. Hemoragi subdural lebih
sering terjadi pada vena dan merupakan akibat terputusnya pembuluh darah kecil
yang menjembatani ruang subdural
Hematoma Subdural Akut
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS
masuk ke dalam ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh
tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan
berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah.
Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis
dibuat dengan arteriogram karotis dan echoensefalogram / CT Scan. Pengobatan
terutama tindakan bedah.
Hematoma Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan defisit neurologik yang bermakna dalam
waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda
– tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan
pengangkatan bekuan darah.
Hematoma subdural Kronik
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan,
dan tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran
kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental, ke
Askep
Klien Dengan Cedera Kepala Sedang
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Konsep Dasar
Pengertian
Cedera kepala adalah trauma yang
meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak, dan cedera kepala paling
sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan
merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. (Brunner &
Suddarth, 2002 : hal. 2210)
Cedera Kepala merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian
besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. (Arief Mansjoer, 2000 : hal. 3)
Cedera kepala adalah gangguan
traumatik pada daerah kepala yang menggangu fungsi otak dengan atau menyebabkan
terputusnya kontinuitas jaringan kepala yang biasanya disebabkan oleh trauma
keras (Sylvia A. Price, 2006 : hal. 1173).
Dari pengertian-pengertian diatas
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa cedera kepala adalah traumatik pada
daerah kepala yang dapat mengganggu fungsi otak yang biasanya disebabkan oleh
trauma keras sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
Anatomi Fisiologi Otak
Otak dilindungi dari cedera oleh
rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang
lembut akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu,
begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan
akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya terjadi sekunder akibat cedera.
Meninges melindungi otak dan
memberikan perlindungan tambahan. Ketiga lapisan meninges adalah dura meter,
araknoid, dan pia meter. Masing-masing mempunyai fungsi tersendiri dan
strukturnya berbeda dari struktur lain. Dura meter adalah membran luar yang
liat, semitranslusen, dan tidak elastis. Fungsinya untuk (1) melindungi otak,
(2) menutupi sinus-sinus vena (yang terdiri atas dura meter dan lapisan endotelial
saja tanpa jaringan vascular), dan (3) membentuk periosteum tabula interna. Dura
meter erat dengan permukaan bagian dalam tengkorak. Bila dura robek dan tidak
diperbaiki dengan sempurna dan dibuat kedap udara, akan menimbulkan berbagai
masalah, fungsi terpenting dura kemungkinan adalah sebagai pelindung. Di dekat
dura (tetapi tidak melekat pada dura) terdapat membrane fibrosa halus dan elastis
yang dikenal sebagai araknoid. Membran ini tidak melekat pada dura meter.
Perdarahan antara dura dan araknoid (ruang subdural) dapat menyebar dengan
bebas, dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena-vena
otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan penyokong dan
oleh karena itu mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma. Diantara
araknoid dan pia meter terdapat ruang subaraknoid. Ruangan ini melebar dan
mendalam pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal
(CSS). Pada sinus sagitalis superior dan tranversal, araknoid membentuk
tonjolan villus yang bertindak sebagai lintasan untuk mengosongkan cairan
serebrospinal kedalam sistem vena. Sedangkan lapisan terakhir atau pia meter
adalah membrane halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan
merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk kedalam sulkus dan
membungkus semua girus; kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus.
Klasifikasi Cedera Kepala
Adapun pembagian /
pengklasifikasian cedera kepala (Arief Mansjoer, 2000 : hal 3) adalah :
Berdasarkan mekanisme cedera
Berdasarkan adanya penetrasi
durameter, cedera kepala dibagi menjadi :
Trauma tumpul : kecepatan tinggi
(tabrakan otomobil), dan kecepaan rendah (terjatuh, dipukul).
Trauma tembus : luka tembus peluru
dan cedera tembus lainnya)
Berdasarkan Keparahan cedera
Cedera Kepala Ringan (CKR) : GCS
13-15
Cedera Kepala Sedang (CKS) : GCS
9-12
Cedera Kepala Berat (CKB) : GCS 3-8
Berdasarkan Morfologi
Fraktur tengkorak :
Kranium : linear/stelatum:
depresi/non depresi; terbuka/tertutup
Basis : dengan/tanpa kebocoran
cairan serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII (Nervus Facialis)
Lesi Intrakranial :
Fokal : epidural, subdural,
intraserebral
Difus : konkusi ringan, konkusi
klasik, cedera aksonall difus
Sedangkan menurut Brunner &
Suddarth (2002), pengklasifikasian cedera kepala berdasarkan cedera spesifik
pada otak kepala dibagi :
Komosio
Komosio
serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik sementara
tanpa kerusakan struktur. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak
sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama beberapa menit. Getaran otak
sedikit saja hanya akan menimbulkan pusing atau berkunang-kunang, atau dapat
juga kehilangan kesadaran komplet sewaktu.
Kontusio
Kontusio serebral
merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan
adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala
akan muncul dan lebih khas. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi
lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi dan
berkemih tanpa disadari. Pasien dapat diusahakan bangun tetapi segera masuk dalam
keadaan tidak sadar.
Hematome intracranial
Hematom Epidural
Setelah cedera kepala, darah berkumpul didalam ruang epidural
(ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari
fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau
rusak, dimana arteri ini berada di antara dura dan tengkorak daerah inferior
menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan
penekanan pada otak. Tanda dan gejala klasik terdiri dari penurunan kesadaran ringan
pada waktu terjadi benturan diikuti oleh periode lucid (pikiran jernih) dari
beberapa menit sampai beberapa jam. Pasien dengan hematoma epidural membentuk
suatu kelompok yang dapat dikategorikan sebagai “talk” and “die”.
Hematom Subdural
Hematom subdural adalah pengumpulan
darah di antara dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi
oleh cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi juga terjadi
kecenderungan perdarahan yang serius dan aneurisma. Hemoragi subdural lebih sering
terjadi pada vena dan merupakan akibat terputusnya pembuluh darah kecil yang
menjembatani ruang subdural
Hematoma Subdural Akut
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS
masuk ke dalam ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh
tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan
berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah.
Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis
dibuat dengan arteriogram karotis dan echoensefalogram / CT Scan. Pengobatan
terutama tindakan bedah.
Hematoma Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan defisit neurologik yang bermakna dalam
waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda
– tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan
pengangkatan bekuan darah.
Hematoma subdural Kronik
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan,
dan tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran
kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental,
kejang, dan kadang -kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada
klien dengan hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik, maka tindakan
pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien
dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan
yang terbaik adalah pembedahan.
Hemoragi intraserebral
Hemoragi intraserebral adalah
perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi biasanya terjadi pada cedera
kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil. Hemoragi ini di
dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik, yang menyebabkan
degenerasi dan ruptur pembuluh darah; rupture kantung aneurisma; anomali
vaskuler; tumor intracranial; penyebab sistemik, termasuk gangguan perdarahan
seperti leukemia, hemofilia, anemia aplastik, dan trombositopenia.
Etiologi
Etiologi / penyebab dan terjadinya
Cedera Kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di rumah, kecelakaan
kerja, peluru yang menembus
tulang tengkorak, kejatuhan atau jatuh dari pohon, akibat
kekerasan.
Patofisiologi
Derajat kerusakan yang terjadi pada
penderita cedera kepala bergantung pada kekuatan yang menimpa, makin besar
kekuatan, makin parah kerusakan. Kekuatan tersebut terbagi menjadi 2, yaitu
pertama cedera setempat yang disebabkan oleh benda tajam berkecepatan rendah
yang dapat merusak fungsi neurologik pada tempat tertentu karena benda atau
fragmen tulang menembus dura. Kedua, cedera menyeluruh, yang menyebabkan
kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan diteruskan ke otak.
Karena neurofisiologis pernafasan
sangant kompleks, kerusakan neurologist dapat menimbulkan masalah pada beberapa
tingkat. Beberapa lokasi pada hemisfer serebral mengatur control volunter
terhadap otot yang digunakan pada pernafasan, pada sinkronisasi dan koordinasi
serebelum pada upaya otot. Serebrum juga mempunyai beberapa kontrol terhadap
frekuensi dan irama pernafasan. Nucleus pada pons dan area otak tengah dari
batang otak mengatur otomatisasi pernafasan. Sel-sel pada area ini bertanggunga
jawab pada perubahan kecil dari pH dan kandungan oksigen sekitar darah dan
jaringan. Pusat ini dapat dicederai oleh peningkatan TIK dan hipoksia serta
oleh trauma langsung. Trauma serebral yang mengubah tingkat kesadaran biasanya
menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal. Faktor ini akhirnya
menimbulkan gagal nafas, yang mengakibatkan laju mortalitas tinggi pasien
dengan cedera kepala, sedangkan pola pernafasan berbeda dapat diidentifikasi
bila terdapat disfungsi intracranial.
Akibat utama dari cedera otak dapat
mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai
akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat
mempunyai control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan
perawatan diri dn kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan postur,
spastisitas, atau kontraktur.
Gangguan area motorik dan sensorik
dari hemisfer serebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan
pada sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk memanipulasinya dengan gerakan pipi
dan lidah. Selain itu, refleks menelan dari batang otak mungkin hiperaktif atau
menurun sampai hilang sama sekali.
Pasien dengan trauma serebral
disertai gangguan kemampuan komunikasi bukan terjadi secara tersendiri.
Disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan pada seseorang yang mengalami
cedera kepala. Pasien yang telah mengalami trauma pada area hemisfer serebral
dominan
.
Skema
Patofisiologi
Cedera
setempat
Cedera
menyuluruh
Kerusakan
setempat
Kerusakan
diserap sepanjang jaringan otak
Terjadi
hemiplegia/hemisfer mengenai LMN
Sawar
darah otak rusak
Pembentukan zat kimiawi ( Bradikinin, Serotonin, Enzim
proteolitik )
Merangsang dan merusak ujung sensitif nyeri (kemosensitif
nyeri)
Peningkatan suplai darah ke daerah trauma (vasodilatasi)
Kerusakan
mobilitas fisik
Perubahan cairan intrasel dan ekstrasel (edema)
TIK
meningkat
Menurunkan
ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif dan termosensitif
Nyeri
Aliran
darah ke otak menurun
Perubahan
perfusi jaringan serebral
Iskemik
jaringan otak
Nekrosis
jaringan otak
PCO2
meningkat; pH dan PO2 menurun
Gangguan
area hemisfer
Terjadi
perubahan persepsi sensori
Hipoventilasi
alveolar
Terjadi
masalah di hemisfer, nucleus, pons dan area otak
Nafas
dangkal
Kerusakan
kemampuan mendeteksi makanan
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan
Tidak
terjadi reaksi pelumatan dan pencernaan
|
(Hudak &
Gallo, 2000)
Tanda dan Gejala
Gejala-gejala yang muncul pada
cedera lokal tergantung pada jumlah dan distribusi cedera otak. Nyeri yang
menetap atau setempat, bisanya menunjukkan adanya fraktur.
Fraktur Kubah Kranial menyebabkan
bengkak pada sekitar fraktur, dan atas alasan ini diagnosis yang akurat tidak
dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar-x.
Fraktur dasar tengkorak :
Cenderung melintas sinus paranasal
pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, dimana dapat
menimbulkan tnda seperti :
Hemoragi dari hidung, faring, atau
telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva
Ekimosis atau memar, mungkin
terlihat diatas mastoid (battle sign)
Laserasi atau kontusio otak
ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah.
Penurunan kesadaran
Nyeri kepala
Mual, muntah
Brill Hematom
Pingsan
Pemeriksaan Diagnostik
CT Scan Kepala
Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada
iskemik/ infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pascatrauma.
MRI
Sama dengan skan CT dengan/ tanpa menggunakan kontras.
Angiografi
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, dan trauma.
EEG
Untuk memperlihatkan keberdaan atau berkembangnya
gelombang patologis
Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur), pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya
fragmrn tulang
BAER (Brain Auditory Evoked
Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak
PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada
otak
Pungsi Lumbal, CSS
Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subaraknoid
GDA (Gas Darah Arteri)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK
Kimia / elektrolit darah
Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK / perubahan mental
Pemeriksaan Toksikologi
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran
Kadar antikonvulsan darah
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang
Penatalaksanaan
Pedoman Resusitasi dan Penilaian
awal
Menilai jalan nafas
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan
memasang kolar servikal, pasang gudel bila dapat ditolerir. Jika cedera
orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.
Menilai Pernafasan
Tentukan apakah pasien bernafas spontas atau tidak.
Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernafas spontan,
selidiki dan atasi cedera dada berat seperti penumotorak, pneumotoraks tensif.
Menilai sirkulasi
Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya
cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan
tekanan darah, pasang alat pemantau atau EKG. Pasang jalur intravena yang
besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap ureum,
elektrolit, glukosa dan AGD, serta berikan cairan koloid.
Obati Kejang
Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala
dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan
dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat
diberikan penitoin 15 mg/kg BB diberikan intravena perlahan-lahan dengan
kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
Menilai tingkat keparahan
Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, dan orientif);
tidak ada kehilangan kesadaran; tidak ada intoksikasi alcohol atau obat
terlarang; pasien tidak mengeluh nyeri kepala dan pusing; pasien tidak
menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala.
Cedara kepala sedang (kelompok
resiko sedang)
GCS 9-12 (konfusi, letargi, stupor); konkusi amnesia
pasca trauma; muntah; tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata
rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal).
Cedera kepala
berat (kelompok resiko berat)
GCS 3-8 (koma), penurunan derajat kesadaran secara
progresif; tanda neurologist fokal; cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur
depresi kranium.
Pedoman penatalaksanaan
Pada semua pasien dengan cedera
kepala dan / atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero – posteriol, lateral, dan adontoid), kolar
servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7
normal.
Pada semua pasien dengan cedera
kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut :
Pasang jalur intravena dengan
larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer Laktat : cairan isotonis
lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan
cairan ini tidak menanbah edema serebri.
Lakukan pemeriksaan : hematokrit,
periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah, glukosa, ureum, dan
kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alcohol bila perlu.
Lakukan CT Scan dengan jendela
tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT
scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera ringan , sedang atau berat, harus
dievaluasi adanya :
(a). Hematoma Epidural,
(b). Darah dalam subarachnoid dan intraventrikal
(c). Kontusio dan perdarahan jaringan
(d). Obliterasi sisterna perimesensefalik
(e). Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan
pneumosefalus.
Pada pasien yang koma (skor GCS
< 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini :
Elevasi kepala 300
Hiperventilasi
Berikan manitol 20% 1 gram / kg
intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kamudian
yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
Pasang kateter foley
Konsul bedah saraf bila terdapat
indikasi operasi (hematom epidural besar, hematom subdural, cedera kepala
terbuka, dan fraktur impresi > 1 diploe)
Penatalaksanaan khusus
Cedera kepala ringan : Pasien
dengan cedera kepala ringan ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu
dilakukan pemeriksaan CT scan bila memenuhi kriteria berikut :
(1). Hasil pemeriksaan neurologist
(terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal
(2). Foto servikal jelas normal
(3). Adanya orang yang bertanggung
jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk
segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan.
Sedangkan criteria perawatan di
rumah sakit adalah :
(1). Adanya darah intrakrnial atau
fraktur atau fraktur yang tampak pada CT Scan
(2). Konfusi, agitasi, atau
kesadaran menurun
(3). Adanya tanda atau gejala
neurologist fokal
(4). Intoksikasi obat atau alcohol
(5). Adanya penyakit medis komorbid
yang nyata
(6). Tidak adanya orang yang dapat
dipercaya untuk mengamati pasien di rumah
Cedera kepala sedang : pasien yang
menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala koma Glasgow 15 (sadar
penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak
perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun
terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Resiko timbulnya
lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang
adalah minimal.
Cedera kepala berat : penatalaksanaan
cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Hal yang harus
diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala berat adalah :
(1).Penilaian ulang jalan nafas dan
ventilasi
(2).Monitor tekanan darah : karena
autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut, maka tekanan arteri
rata-rata harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan
hipertensi (>130 mmHg). Hipertensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan
hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
(3).Pemasangan alat monitor tekanan
intracranial pada pasien dengan skor GCS <8, bila memungkinkan
(4).Penatalaksanaan cairan : hanya
larutan isotonis (salin normal atau ringer laktat) yang diberikan kekpada
pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau
dekstrose 5% harus diberikan sesegera mungkin.
(5).Nutrisi : cedera kepala berat
menimbulkan respon hipermetabolik dan katabolic, dengan keperluan 50-100% lebih
tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogatrik harus
diberikan sesegera mungkin
(6).Temperatur badan : demam dapat
mengakserbasi cedera otak.
(7).Anti kejang : fenitoin 15-20
mg/kgBB bolus intravena, kemudia 300 mg/hari intravena.
(8).Steroid : tidak terbukti
mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan
resiko infeksi, hiperglikemi dan komplikasi lain.
(9).Antibiotik : penggunaan
antibiotic rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala terbuka
masih controversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko meningitis.
Komplikasi
Kemunduran pada kondisi pasien
mungkin karena perluasan hematom intracranial, edema serebral progresif, dan
herniasi otak. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 2215)
Edema serebral dimana terjadi
peningkatan tekanan intrakranial karena ketidaknmampuan tengkorak utuh untuk
membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari
trauma.
Herniasi otak adalah perubahan
posisi ke bawah atau lateral otak melalui atau terhadap struktur kaku yang
terjadi menimbulkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel, dan kematian.
Defisit neurologik dn psikologik
Infeksi sistemik (pneumoni, infeksi
saluran kemih, septicemia)
Infeksi bedah neuron (infeksi luka,
osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak)
Osifikasi heterotopik (nyeri tulang
pada sendi-sendi yang penunjang berat badan)
Menurut Arief
Mansjoer (2000), komplikasi dari cedera kepala berat, yaitu:
Kebocoran
cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi
pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup.
Fistel karotis
kavernosus ditandai dengan trias gejala: eksolftalmus, kemosis, dan bruit
orbita, dapat segera timbul atau beberapa hari setelah cedera.
Diabetes
insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.
Kejang pasca
trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dini(minggu pertama) atau lanjut
(setelah satu minggu).
Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah factor
penting dalam survival klien dan aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif, dan
preventif perawatan kesehatan (Merilynn E. Doenges, 2000 : hal. 6).
Dari seluruh dampak masalah di
atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang komprehensif. Dengan
demikian pola asuhan keperawatan yang tepat adalah melalui proses perawatan
yang dimulai dari pengkajian yang diambil adalah merupakan respons klien, baik
respon biopsikososial maupun spiritual, kemudian ditetapkan suatu rencana
tindakan perawatan untuk menuntun tindakan perawatan. Dan untuk menilai keadaan
klien, diperlukan suatu evaluasi yang merujuk pada tujuan rencana perawatan
klien.
Pengkajian
Pengkajian merupakan pengumpulan
data yang sistematis untuk menentukan status kesehatan pasien dan untuk
mengidentifikasi semua masalah kesehatan yang actual atau potensial. (Brunner
& Suddarth, 2002 : hal. 32)
Adapun pengkajian pada klien dengan
trauma kepala (Marlyn E. Doenges. 2000 : hal. 270) adalah :
Aktivitas / Istirahat
Gejala : merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan
Tanda : perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegi,
ataksia cara berjalan tidak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma
ortopedi), kehilangan tonus otot, otot aspastik
Sirkulasi
Gejala : perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, tachycardi, disrhitmia).
Integritas Ego
Gejala : perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis)
Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi dan impulsive
Eliminasi
Gejala : incontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan
fungsi
Makanan / Cairan
Gejala : mual, muntah, dan mengalami, perubahan selera
Tanda : muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air
liur keluar, disfagia)
Neuro Sensori
Gejala : kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada
eksremitas
Tanda : perubahan kesadaran bias sampai koma, perubahan status
mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi / tingkah laku dan memori), perubahan pupil, deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti, kehilangan pengindraan, penciuman dan pendengaran,
wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon dalam
tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese, quadraplegi, postur (dekortikasi,
deserebrasi), kejang, sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi.
Nyeri / kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya
Tanda : wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih..
Pernapasan
Tanda : perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif.
Keamanan
Gejala : trauma baru / trauma karena kecelakaan
Tanda : fraktur / dislokasi, gangguan penglihatan, kulit ; laserasi,
abrasi, perubahan warna, seperti “racoon eyes”, tanda battle di sekitar
telinga, adanya aliran (drainase) dari telinga / hidung, gangguan kognitif,
gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralise, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
Interaksi Sosial
Tanda : afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria, anomia.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara
mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik klien serta
respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (Marilynn E. Doenges. 2000 :
hal. 8)
Adapun Diagnosa Keperawatan yang
dapat ditemukan pada pasien dengan cedera kepala (Merilynn E. Doenges, 2000 :
hal 273.)
Perubahan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi, hematome) ;
edema serebral (respons local atau umum pada cedera, perubahan metabolic, takar
lajak obat / alcohol) ; penurunan TD sistemik / hipoksia (hipovolemia,
distrimia jantung).
Resiko tinggi terhadap pola nafas
tak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pasa pusat
pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial
Perubahan persepsi sensori
berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi dan / atau integrasi
(tauma atau deficit neurologist)
Perubahan proses fikir berhubungan
dengan perubahan fisiologis ; konflik psikologis
Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan /
tahanan, terapi pembatasan / kewaspadaan keamanan, missal tirah baring,
imobilisasi.
Resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasive, penurunan
kerja silia, stasis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respons inflamasi
tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas system tertutup (kebocoran
CSS)
Resiko tinggi terhadap perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan
untuk mencerna nutrient (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang
diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik
Perubahan proses keluarga
berhubungan dengan transisi dan krisis situasuional, ketidakpastian tentang
hasil / harapan
Kurang pengetahuan mengenai kondisi
dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal
informasi / sumber-sumber, kurang mengingat / keterbatasan kognitif.
Perencanaan
Diagnosa Keperawatan Pertama :
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
oleh SOL (hemoragi, hematome) ; edema serebral (respons local atau umum pada
cedera, perubahan metabolic, takar lajak obat / alcohol) ; penurunan TD
sistemik / hipoksia (hipovolemia, distrimia jantung).
Tujuan : perfusi jaringan serebral
adekuat
Kriteria Hasil : tanda-tanda vital
dalam batas normal ( TD, nadi, RR, dan suhu tubuh), pupil isokor, klien tidak
gelisah, GCS 15, tidak ada tanda peningkatan TIK
Intevensi :
Kaji status status neurologis yang berhubungan dengan tanda-tanda
TIK; terutama GCS.
Rasional: mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan
potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.
Monitor tanda-tanda vital setiap jam sampai keadaan klien stabil.
Rasional: normalnya autoregulasi
mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada sat ada fluktuasi tekanan
darah sistemik.
Naikkan kepala dengan sudut 15o-45o tanpa
bantal dan posisi netral.
Rasional: meningkatkan aliran balik vena
dari kepala, sehingga akan mengurangi kongesti dan edema.
Monitor asupan setiap delapan jam sekali.
Rasional: pembatasan cairan mungkin
diperlukan untuk menurunkan edema serebral.
Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan anti edema
seperti manitol, gliserol dan lasix.
Rasional: dapat digunakan pada fase akut
untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.
Berikan oksigen sesuai program terapy.
Rasional: menurunkan hipoksemia yang dapat
meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
Diagnosa Keperawatan kedua : Resiko
tinggi terhadap pola nafas tak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pasa pusat pernafasan otak), kerusakan persepsi atau
kognitif, obstruksi trakeobronkial
Tujuan : pola nafas efektif.
Kriteria hasil : pola napas dalam batas normal frekuensi 16 – 20
x/menit dan iramanya teratur, tidak ada stridor, ronchi dan wheezing, gerakan
dada simetris tidak ada retraksi, nilai AGD normal, pH 7,35 - 7,45, PaO2
80 - 100 mmHg, PaCO2 35 - 45 mmHg.
Intervensi:
Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi,
irama dan bunyi napas.
Rasional: perubahan dapat menandakan
awitan komplikasi pulmonal atau menandakan luasnya keterlibatan otak.
Atur posisi klien dengan posisi semi
fowler (15o – 45o).
Rasional: untuk memudahkan ekspansi paru
dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
Lakukan penghisapan lendir dengan
hati-hati selama 10-15 detik. Catat sifat, warna dan bau sekret. Lakukan bila tidak ada retak pada tulang basal dan robekan dural.
Rasional: Penghisapan biasanya dibutuhkan jika klien koma atau dalam
keadaan imobilisasi dan tidak dapat memberikan jalan napasnya sendiri.
Anjurkan klien latihan napas dalam apabila sudah sadar.
Rasional: Mencegah / menurunkan atelektasis
Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi.
Rasional: untuk mencegah terjadinya komplikasi
Diagnosa keperawatan ketiga :
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
transmisi dan / atau integrasi (tauma atau deficit neurologist)
Tujuan : mengembalikan persepsi sensoris/normal
dan komplikasi dapat dicegah atau seminimal mungkin tidak terjadi.
Kriteria hasil : tingkat kesadaran normal,
fungsi alat-alat indra baik, klien kooperatif kembali dan dapat berorientasi
terhadap orang, tempat dan waktu.
Intervensi:
Kaji respon sensoris terhadap raba/sentuhan, panas atau dingin,
tajam dan tumpul dan catat perubahan-perubahan yang terjadi.
Rasional: informasi penting untuk keamanan
klien
Kaji persepsi klien, beri umpan balik dan
koreksi kemampuan klien berorientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
Rasional: membantu klien untuk memisahkan pada realitas dari
perubahan persepsi.
Berikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran sampai
kembalinya fungsi persepsi yang maksimal.
Rasional: pilihan masukan sensorik secara cermat bermanfaat untuk
menstimulasi klien koma dengan baik selama melatih kembali fungsi kognitifnya.
Berbicaralah dengan klien tenang, lembut
dan menggunakan kalimat yang sederhana.
Rasional: menurunkan frustasi yang berhubungan dengan perubahan
kemampuan / pola respons yang memanjang.
Berikan pengamanan klien dengan pengamanan
sisi tempat tidur, bantu latihan jalan dan lindungi dari cedera.
Rasional: agitasi, gangguan pengambilan
keputusan, gangguan keseimbangan dan penurunan sensorik meningkatkan resiko
terjadinya trauma pada klien.
Kaji kemampuan berfikir dengan menanyakan
nama dan orientasi terhadap lingkungan sekitar.
Rasional: fungsi serebral bagian atas
biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi.
Kaji perhatian dan cara klien mengalihkan perhatiannya dan catat
tingkat cemas.
Rasional: respons individu mungkin berubah-ubah namun umumnya
seperti emosi yang labil, frustasi, apatis dan muncul tingkah laku impulsif
selama proses penyembuhan dari trauma kepala.
Berikan penjelasan pada keluarga/klien
tentang perubahan berfikir klien dan rencana keperawatan.
Rasional: membantu klien untuk memisahkan
pada realitas dari perubahan persepsi.
Ajarkan tehnik relaksasi, jangan berikan
tantangan berfikir keras dan beri aktivitas sesuai kemampuan.
Rasional:
menurunkan frustasi yang berhubungan dengan perubahan kemampuan pola respon
yang menunjang
Diagnosa keperawatan keempat :
Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis ; konflik
psikologis
Tujuan : tidak terjadi perubahan
proses fakir
Kriteria hasil : melakukan kembali
orientasi mental dan realitas adanya, mengenali perubahan berfikir / perilaku,
berpartisipasi dalam aturan terapeutik / penyerapan kognitif
Intervensi :
Kaji tingkat perhatian,
kebingungan, dan catat tingkat ancietas pasien
Rasional : untuk berkonsentrasi mungkin memendek
secara tajam yang menyebabkan dan merupakan potensi terhadap terjadinya
ansietas yang mempengaruhi proses berfikir
Pastikan orang-orang terdekat untuk
membandingkan kepribadian / tingkah laku pasien sebelum mengalami trauma dengan
respon pasien sekarang
Rasional : masa pemulihan cedera kepala meliputi
fase agitasi, respons marah, dan berbicara / proses fikir yang kacau
Usahakan untuk menghadirkan
realitas secara konsisten dan jelas, hindari pikiran-pikiran yang tidak masuk
akal
Rasional : orientaasi realitas yang terstruktur
dapat menurunkan reaksi perlawanan pasien sendiri
Tingkatkan sosialisasi dalam
batas-batas yang wajar
Rasional : pengutan terhadap tingkah laku yang
positif, mungkin bermanfaat dalam proses belajar struktur internal.
Hindari meninggalkan pasien
sendirian ketika mengalami agitasi, gelisah, atau berontak
Rasional : amsietas dapat mengakibatkan kehilangan
control dan meningkatkan kepanikan. Dukungan dapat memberikan ketenangan yang
menurunkan ansietas dan resiko terjadinya trauma
Diagnosa Keperawatan kelima :
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif,
penurunan kekuatan / tahanan, terapi pembatasan / kewaspadaan keamanan, misal
tirah baring, imobilisasi.
Tujuan : mampu melakukan aktivitas fisik,
tidak terjadi komplikasi dekubitus dan kontraksi sendi.
Kriteria hasil : klien mampu dan pulih
kembali setelah pasca akut dan gerak, mampu melakukan aktivitas ringan pada
tahap rehabilitasi sesuai dengan kemampuan.
Intervensi:
Kaji kemampuan mobilisasi.
Rasional: dapat mengidentifikasi tingkat
ketergantungan klien.
Kaji derajat ketergantungan klien dengan menggunakan skala
ketergantungan.
Rasional : Untuk mengetahui derajat ketergantungan klien :
: Klien mandiri
: Klien memerlukan bantuan minimal
: Klien memerlukan bantuan sedang,
pengawasan dan pengarahan
: Memerlukan bantuan terus menerus
dan memerlukan alat Bantu
: Memerlukan bantuan total
Atur posisi klien dan ubahlah secara
teratur tiap dua jam sekali bila tidak ada kejang.
Rasional: perubahan posisi secara teratur dapat meningkatkan dan
mencegah adanya penekanan pada organ yang menonjol.
Bantu klien dalam gerakan-gerakan kecil
secara pasif apabila kesadaran menurun dan secara aktif bila klien kooperatif.
Rasional: mempertahankan fungsi sendi dan mencegah penurunan tonus
otak.
Observasi/kaji kemampuan gerakan motorik,
keseimbangan, koordinasi gerakan dan tonus otot.
Rasional: mengidentifikasi kekuatan /
kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan.
Lakukan massage, perawatan kulit dan jaga
kebersihan alat tenun.
Rasional: meningkatkan sirkulasi
intensitas kulit dan integritas kulit.
Berikan motivasi dan latihan pada klien
dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
Rasional: meminimalkan atrofi otot,
meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur.
Pantau pola – pola eliminasi dan bantu untuk dapat berdefekasi
secara teratur
Rasional : Defekasi adalah kebutuhan poko dan untuk mencegah
komplikasi
Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lain (fisioterapy).
Rasional: program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan
kebutuhan yang berarti / menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan,
koordinasi dan kekuatan.
Diagnosa Keperawatan keenam :
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasive, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh, kekurangan
nutrisi, respons inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas
system tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil : tidak terdapatnya tanda-tanda infeksi seperti
rubor, dolor, calor, tumor,pus di daerah kulit yang rusak
Intervensi:
Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan
secara septik dan aseptik.
Rasional: cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi
nasokomial.
Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran.
Rasional: dapat mengidentifikasikan perkembangan sepsis yang
selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera
Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah invasive,
dan tanda-tanda inflamasi / infeksi
Rasional :Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk
melakukan pencegahan
Berikan perawatan perineal (cateter), infuse, pertahankan integritas
Rasional : menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri
atau infeksi yang merambah naik
Lakukan perawatan luka dang anti balutan sesuai indikasi
Rasional : sejumlah drainase serosa menuntut
penggantian dengan sering untuk menurunkan iritasi kulit dan potensial infeksi
Pantau suhu tubuh secara teratur
Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengindikasikan tanda – tanda
infeksi dan perlu tindakan segera
Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antibiotik.
Rasional: terapi profitaktik dapat digunakan pada klien yang
mengalami trauma untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nasokomial.
Diagnosa keperawatan ketujuh :
Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan
tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan,
status hipermetabolik
Tujuan : kekurangan nutrisi tidak terjadi.
Kreteria hasil : BB klien normal,
tanda-tanda malnutrisi tidak ada, Hb tidak kurang dari 10 gr%.
Intervensi:
Kaji kemampuan mengunyah, menelan, reflek
batuk dan pengeluaran sekret.
Rasional: kelemahan otot dan refleks yang
hipoaktif/ hiperaktif dapat mengidentifikasikan kebutuhan akan metode makan
alternatif.
Auskultasi bising usus dan catat bila terjadi penurunan bising usus.
Rasional: kelemahan otot dan hilangnya peristaltik usus merupakan
tanda bahwa fungsi defekasi hilang yang kemudian berhubungan dengan kehilangan
persyarafan parasimpatik usus besar dengan tiba-tiba.
Timbang berat badan.
Rasional: mengkaji keefektifan aturan
diet.
Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi
sering baik melalui NGT maupun oral.
Rasional: dapat diberikan jika klien tidak
mampu untuk menelan.
Tinggikan kepala klien ketika makan dan
buat posisi miring dan netral setelah makan.
Rasional: latihan sedang membantu dalam mempertahankan tonus otot /
berat badan dan melawan depresi.
Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan
untuk pemeriksaan HB, Albumin, protein total dan globulin.
Rasional: pengobatan masalah dasar tidak terjadi tanpa perbaikan status
nutrisi.
Diagnosa keperawatan kedelapan :
Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional,
ketidakpastian tentang hasil / harapan
Tujuan : tidak terjadi perubahan
proses keluarga
Kriteria Hasil : mulai
mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat, mendorong orang yang sakit
untuk menuju kearah kemandirian,
Intervensi
Catat bagian-bagian dari unit
keluarga, keberadaan / keterlibatan sistem pendukung
Rasional : menentukan adanya sumber keluarga dan
mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan
Anjurkan keluarga untuk
mengungkapkan hal-hal yang menjadi perhatiannya tentang keseriusan kondisi
kesehatan
Rasional : Pengungkapan tentang rasa takut secara
terbuka dapat menurunkan ansietas dan meningkatkan koping terhadap realitas
Evaluasi harapan keluarga / tujuan
keluarga
Rasioanl : keluarga mungkin percaya bahwa pasien
akan sembuh dan hidup, rehabilitasi akan sangat dibutuhkan untuk pengobatannya.
Walaupun informasinya akurat, harapan dapat tidak terwujud.
Kaji kekuatan yang dimiliki,
seperti apakah usaha pengambilan keputusan bermanfaat atau malah tidak ada
gunanya
Rasional : mungkin memerlukan bantuan untuk
memfokuskan kekuatan agar menjadi efektif / meningkatkan koping.
Tentukan dan anjurkan penggunaan
cara-cara koping tingkah laku yang cukup berhasil sebelumnya dilakukan
Rasional : berfokus pada kekuatas dan pengutan
kemampuan khusus untuk menghadapi krisis saat sekarang ini.
Diagnosa Keperawatan kesembilan :
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurang pemajanan, tidak mengenal informasi / sumber-sumber, kurang mengingat /
keterbatasan kognitif.
Tujuan : pengetahuan klien dan keluarga
meningkat.
Kriteria hasil : klien dan keluarga
berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang kondisi,
aturan pengobatan dan potensial komplikasi.
Intervensi:
Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk
belajar dari klien juga keluarganya.
Rasional: memungkinkan untuk menyampaikan
bahan yang didasarkan atas kebutuhan klien secara individual.
Berikan kembali informasi yang berhubungan
dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya.
Rasional: membantu dalam menciptakan
harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini dan
kebutuhannya.
Berikan kembali penguatan terhadap
pengobatan yang diberikan sekarang.
Rasional: aktivitas, pembatasan,
pengobatan/ kebutuhan terapi yang diberikan atas dasar pendekatan antar
disiplin evaluasi amat penting untuk perkembangan pemulihan.
Diskusikan rencana untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
Rasional: berbagai tingkat bantuan mungkin
perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang individual.
Rujuk / tegaskan kembali pentingnya melakukan
evaluasi dengan tim rehabilitasi.
Rasional: kerja keras akhirnya menghasilkan defisit neurologis dan
kemampuan klien untuk memulai gaya hidup baru/ produktif.
Pelaksanaan
Tindakan keperawatan (implementasi)
adalah diskripsi untuk perilaku yang diharapkan dari klien atau tindakan yang
harus dilakukan oleh perawat sesuai dengan apa yang direncanakan (Merilynn E.
Doenges, 2000). Implementasi pada klien Cedera Kepala sedang meliputi
pencapaian perfusi jaringan serebral adekuat, status nutrisi adekuat, pencegahan
cedera, penigkatan fungsi kognitif, koping keluarga efektif, peningkatan
pengetahuan tentang proses rehabilitasi dan pencegahan komplikasi (Merilynn E.
Doenges, 2000).
Evaluasi
Evaluasi adalah hasil yang
didapatkan dengan menyebutkan item-item atau perilaku yang diamati dan
dipantau, untuk menentukan pencapaian hasil dalam jangka waktu yang telah
ditentukan (Merilynn E. doenges, 2000).
Evaluasi bertujuan untuk menilai
hasil akhir dari seluruh intervensi keperawatan yang telah dilakukan, dengan
cara yang berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan
lainnya, dituliskan dalam catatan perkembangan yang berfungsi untuk
mendokumentasian keadaan klien, baik berupa keberhasilan maupun
ketidakberhasilan berdasarkan masalah yang ada.
Evaluasi ini dapat bersifat
formatif yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus menerus, untuk menilai
hasil tindakan yang dilakukan, yang juga disebut tujuan jangka pendek. Dan
dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir
dari semua tindakan keperawatan, yang disebut dengan mengevaluasi pencapaian
tujuan jangka panjang
Hasil yang diharapkan dari tindakan
keperawatan yang dilakukan pada klien dengan cedera kepala sedang adalah tidak
ada tanda-tanda peningkatan intra kranial seperti tekanan darah meningkat,
denyut nadi lambat, pernapasan dalam dan lambat, pupil melebar, reflek terhadap
cahaya negatif, kesadaran memburuk.
Yang diharapkan adalah pasien mampu
dan pulih setelah pasca akut dalam mempertahankan fungsi gerak, tidak terjadi dekubitus,
mampu melaksanakan aktivitas sedang, tidak terdapat tanda-tanda infeksi seperti
rubor, dolor, kalor, tumor. Klien
tampak tenang dan nyeri hilang, klien dapat beristirahat dengan tenang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar